sejarah bani peradilan bai umayah


 Sejarah Singkat Bani Ummayyah
Kerajaan Bani  Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah  dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin  Abdi Syamsi bin Abdi  Manaf  bertemu dengan Nabi  Muhammad SAW pada Abdi  Manaf.  Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah.
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb,  Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat  dari  sejarahnya,  Bani  Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan. Ketika terjadi Fathul  Makkah Abu Sufyan diberi  kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah  satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi.
Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin  tentara  Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah.  Setelah Umar wafat  dan digantikan Ustman,  maka kerabatnya dari  Bani  Umayyah  (Ustman  termasuk dari  Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan. Pada  masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan  terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya.
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya. Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh, terlatih dan terpilih di  garis depan dalam melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang Muawiyah dan  memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan.
Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem monarkhi. Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan politiknya yang   berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya. Daerah-daerah itu meliputi  Spanyol, Afrika  utara, Syria, Palestina Jazirah Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara sampai Spanyol. Namun demikian, Bani Umayyah banyak   berjasa  dalam  pembangunan berbagai bidang, baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini,  Muawiyah mencetak uang, mendirikan  dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap   dengan peralatannya di sepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya yang kuat.
Masa keemasan Bani Umayah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan sampai masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz dilantik pada tahun 99 H / 717 M. Ia dikenal dengan kesederhanaan, keadilan dan kebijaksaannya. Selama masa pemerintahannya, Umar melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, penginapan bagi musafir dan lain-lain.
Terhadap pihak yang menentang Bani Umayyah, seperti golongan Khawarij dan syi’ah, Umar bersikap lunak. Mereka tidak diperangi, tetapi diajak berdikusi dan membina saling pengertian ia melancarkan dakwah Islam dengan cara bijaksana dan persuatif hingga penduduk yang belum beragama Islam masuk ke Islam, juga melindungi penduduk Mesir, Suriah dan Persia yang berstatus sebagai kaum Zimmi dengan kewajiban membayar Jizyah / pajak.
B. Basis Pemerintahan Bani Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1.      Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2.      Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.      Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
C. Politik dan Peradilan Bani Umayyah
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun.
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, "sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". …." (2:30)
Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir.
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
Disamping usaha tersebut, daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Disamping itu, kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu. Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1. Wilayat Al-Qadla'
Al-Qadla’ berasal dari kata qadla-yaqdli-qadla’an, yang berarti menentukan, memutuskan, memerintahkan sesuatu. Kata al-qadla’ merupakan kata musytarak, memiliki banyak makna. Sekalipun secara bahasa kata al-qadha’ memiliki banyak makna, secara tradisi ia akhirnya lebih difokuskan pada makna yang berkaitan dengan praktek dan putusan peradilan. Syariat pun memutlakkan istilah al-qadla’ dalam masalah praktek dan putusan peradilan.
Para ulama memberikan beberapa definisi al-qadla dalam pengertian syar’i ini. Menurut Al-Khathib asy-Syarbini, al-qadla’ adalah penyelesaian perselisihan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah SWT. Dalam Fath al-Qadir al-qadla’ diartikan sebagai al-ilzâm (pengharusan). dalam Bahr al-Muhith diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan persengketaan. Sedangkan dalam Bada’i’ ash-Shana’i’ diartikan sebagai penetapan hukum di antara manusia dengan haq (benar).
Wilayat ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana, wilayat ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam wilayat ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.

Dasar Walayah al Qadla’
Karena al Qadla’ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam itu sendiri, maka prinsip-prinsip keadilan dalam Islamlah yang dijadikan sebagai landasan pokok pelaksanaannya, sebagimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an surat An Nisa’:135,
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

0 Response to "sejarah bani peradilan bai umayah"

Posting Komentar

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme | Blogger Templates | Best Credit Card Offers